BeritaKaget.com // Ilham Mahesa Sinaga // 22 Oct 2012
Ketika
negara terlalu berpihak dan menguntungkan koruptor, timbul spirit dan gagasan
baru dari masyarakat sendiri untuk ”menghukum” pelaku korupsi. Sebagian besar
publik menyerukan perlunya penerapan sanksi sosial bagi koruptor, meski dinilai
belum tentu efektif.
Pemberantasan korupsi menjadi agenda besar
pemerintah yang tampaknya terus mengalami ganjalan. Di luar soal polemik
institusi, yaitu ”perseteruan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Kepolisian RI, ada pula persoalan sistemis, yakni penanganan dan pemidanaan
pelaku korupsi. Ringannya hukuman bagi koruptor menjadikan publik belum bisa
mengapresiasi sepenuhnya langkah-langkah pemberantasan korupsi oleh pemerintah.
Catatan Koalisi Masyarakat Sipil menyebutkan,
hingga Agustus 2012 sebanyak 71 terdakwa korupsi melenggang bebas di pengadilan
tindak pidana korupsi. Kalaupun dihukum, mayoritas vonis hukuman bagi koruptor
1-2 tahun. Dengan demikian, cukup mudah bagi para koruptor melewati ”masa
penderitaan” ketimbang pelaku kriminal biasa yang bisa mencapai beberapa kali
lipat masa hukumannya.
Tiga dari empat responden jajak pendapat melihat
kadar vonis yang dijatuhkan bagi pelaku korupsi masih terlalu ringan dan
dinilai tidak memberikan efek jera. Tidak heran, sinisme terhadap upaya
pemberantasan korupsi tercermin kuat dari jajak pendapat kali ini. Hampir
seluruh responden (89,9 persen) yang dihubungi di berbagai kota mengungkapkan
ketidakpuasan akan situasi pemidanaan pelaku korupsi saat ini.
Pukulan telak bagi proses wacana dan gerakan
pemberantasan korupsi bertambah saat sejumlah bekas terdakwa atau narapidana
justru tetap bisa mengemban jabatan-jabatan publik. Peristiwa paling baru
adalah pengangkatan Azirwan yang pernah dipidana 2,5 tahun penjara dalam kasus
suap sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau.
Pemerintah berpedoman pada argumen ketentuan dalam Undang-Undang Pokok
Kepegawaian yang menyebutkan, PNS yang dihukum kurang dari empat tahun tidak
diberhentikan. Dari sisi aturan hukum, kebijakan ini tidak menyalahi
undang-undang.
Namun, dari aspek moral dan etika, promosi ini
dipandang tidak patut. Rohaniwan Franz Magnis-Suseno dalam
buku Etika Politik (1987) menyebutkan peran etika politik
untuk mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia yang berpedoman pada
etika politik. Bila batasan itu dilanggar, akan muncul hukuman moral.
Aspek tanggung jawab dan kewajiban berhadapan
pula dengan sumpah dan janji yang pernah diucapkan saat menjadi pegawai negeri
(dalam UU Kepegawaian), yaitu bekerja dengan jujur dan mengutamakan kepentingan
negara. Secara normatif, tengok pula pedoman umum dalam UU Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Bersih dan Bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme) yang semestinya menjadi pedoman para penyelenggara negara dalam
mengedepankan semangat antikorupsi.
Promosi jabatan bagi Azirwan tak pelak menjadi
pertanyaan besar tentang keseriusan pemerintah dan konsistensi sistem hukum
dalam upaya pembersihan korupsi di negeri ini. Hebatnya lagi, Azirwan bukanlah
satu-satunya contoh bagaimana koruptor masih mendapatkan ruang gerak di negeri ini.
Dalam dua tahun terakhir sedikitnya terdapat enam pejabat publik yang tetap
dilantik meski terjerat kasus korupsi. Sejak disuarakan saat reformasi, publik
terus menanti kemerdekaan negeri ini dari praktik yang telah menggerogoti
moralitas bangsa. Sayangnya, tingginya asa masyarakat masih berjarak dengan
kondisi realitas sesungguhnya.
Karena itu, tak heran bahwa publik melihat kini
saatnya mekanisme ”hukuman sosial” diterapkan bagi koruptor. Sejauh ini hukuman
sosial yang dimaksudkan adalah bentuk hukuman yang lebih bersifat sanksi di
luar proses hukum positif. Artinya, hukuman itu berada di ranah nonformal
sistem peradilan. Meskipun demikian, tak tertutup pula bentuk hukuman sosial
menjadi salah satu bagian dari proses pemidanaan dalam kasus korupsi.
Gagasan bentuk hukuman sosial yang paling banyak
disetujui responden adalah pengumuman koruptor di media massa, seperti televisi
atau koran. Nyaris seluruh responden (92,8 persen) menyetujui bentuk hukuman
tersebut. Bentuk berikutnya adalah mengajak masyarakat untuk tidak memilih
pejabat korup dalam semua kontestasi politik. Terhadap bentuk itu, sebanyak
82,3 persen responden menyetujui. Bentuk ketiga paling ekstrem, yaitu
mengucilkan dari pergaulan masyarakat, cenderung kurang disetujui.
Dibanding hukuman badan (penjara), hukuman sosial
memang kurang dinilai efektif meredam aksi korupsi. Bagian terbesar publik
jajak pendapat ini tetap melihat perlunya pengenaan hukuman badan yang lebih
tegas ketimbang sekadar pengenaan hukuman sosial. Meski demikian, bercermin
dari lemahnya aturan dan sistem hukum, sepertiga bagian responden menegaskan
perlunya kedua mekanisme itu diterapkan bersamaan.
Penerapan hukuman sosial oleh masyarakat memang
bisa dimaknai sebagai sebuah ”perlawanan publik” atas rasa putus asa publik terhadap
kebijakan negara yang terlalu longgar bagi pelaku korupsi. Lebih jauh, korupsi
dan berbagai penyimpangan etika dalam konteks politik bisa membahayakan
perjalanan demokrasi karena menimbulkan krisis kepercayaan terhadap parlemen,
bahkan negara.
Hukuman sosial bagi koruptor, menurut pengamat
politik Universitas Airlangga, Kacung Maridjan, menyiratkan arti ”dipenjara”
secara sosial, tetapi memiliki dampak yang tidak kalah dahsyat dibanding
hukuman penjara fisik. Contohnya, kepala daerah yang terbukti korup bisa
dihukum untuk menjadi tukang bersih-bersih kantor di tempat mereka menjadi
kepala daerah dalam kurun tahun tertentu (Kompas, 24/8).
Selain rasa tidak puas, minornya pemberantasan
korupsi dan keberpihakan kebijakan kepada pelaku korupsi menggugah kesadaran
masyarakat untuk memberikan hukuman dengan caranya sendiri. Selama ini,
penyelenggara negara dinilai terlalu permisif terhadap pelaku korupsi. Menilik
fakta yang terjadi, aturan hukum dan komitmen aparatnya menjadi celah yang
dapat dimanfaatkan koruptor untuk kembali menduduki posisinya.
Pengangkatan mantan narapidana korupsi dan
sejumlah kebijakan permisif terkait praktik korupsi bisa mengikis moralitas
bangsa. Etika dan moralitas politik bukan lagi menjadi pedoman utama dalam
kehidupan bernegara. Tidak hanya korupsi, tetapi juga berbagai polah tingkah
politisi dan pejabat publik yang dinilai mulai menanggalkan etika dalam
berpolitik.
Mayoritas responden menilai perlu larangan tegas
terhadap narapidana korupsi untuk menjadi PNS. Larangan tegas terhadap
narapidana korupsi untuk menjadi pejabat publik itu dimaksudkan agar muncul
kepastian hukum untuk membangun moralitas politik yang lebih baik.